Apa Untung-Rugi Ikut Tapera?
Program wajib iuran Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera yang akan berlaku paling lambat 2027 dinilai tidak menjamin golongan masyarakat berpenghasilan rendah untuk bisa menjangkau rumah. Problem saat ini adalah masyarakat semakin sulit mendapatkan rumah dengan harga terjangkau dan rumah yang terjangkau semakin menjauh dari kota.
Kepesertaan Tapera diwajibkan untuk semua pekerja, meliputi pegawai negeri, TNI/Polri, pegawai BUMN/BUMD/BUMDes, dan pekerja swasta. Adapun pekerja mandiri dapat menjadi peserta Tapera jika memiliki penghasilan minimal setara upah minimum regional.
Hal ini mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang ditetapkan per 20 Mei 2024. Simpanan wajib tersebut akan dikelola oleh Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera).
Seperti apa skema programnya?
Potongan bulanan untuk simpanan peserta sebesar 3 persen dari gaji atau upah untuk peserta pekerja dan penghasilan untuk pekerja mandiri. Besaran simpanan untuk peserta pekerja ditanggung bersama oleh pemberi kerja sebesar 0,5 persen dan pekerja sebesar 2,5 persen. Untuk mendapatkan akses pembiyaan perumahan, peserta harus memiliki masa kepesertaan minimal 1 tahun.
Pembiayaan rumah untuk peserta Tapera ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan rendah dengan pendapatan maksimal Rp 8 juta per bulan. Akses kredit pemilikan rumah (KPR) Tapera memiliki suku bunga tetap (fixed rate) sebesar 5 persen per tahun dengan jangka waktu pinjaman 20 tahun.
Sementara itu, peserta Tapera yang tergolong nonmasyarakat berpenghasilan rendah atau sudah memiliki rumah mendapat akses pembiayaan renovasi rumah atau dikembalikan pokok simpanan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir.
Bagaimana simulasi cicilan?
Berdasarkan simulasi manfaat Tapera yang dirilis BP Tapera, peserta dengan penghasilan Rp 6 juta per bulan dikenai iuran Tapera sebesar 3 persen. Untuk rencana membeli rumah seharga Rp 300 juta, peserta mendapat plafon pembiayaan KPR Tapera senilai Rp 297 juta.
Dengan asumsi tenor KPR 20 tahun, beban cicilan bulanan KPR menjadi Rp 1.960.069 serta ditambahkan iuran bulanan Tapera Rp 180.000. Dengan demikian, beban konsumen menjadi Rp 2.140.069 per bulan. Jika berstatus karyawan di perusahaan, iuran Tapera ini masih akan ditanggung pemberi kerja sebesar Rp 30.000 per bulan.
Bandingkan dengan KPR Komersial. Konsumen nonpeserta Tapera dengan penghasilan Rp 6 juta akan terkena suku bunga KPR rata-rata 11 persen per tahun dan dengan tenor pinjaman 20 tahun.
Dengan demikian, cicilan bulanan adalah Rp 3.065.600. Peserta Tapera akan mendapatkan selisih beban KPR bulanan lebih rendah Rp 952.531 dibandingkan peserta non-Tapera.
Mampukah rakyat membeli rumah?
Co-Founder Finansia Consulting Eko Endarto berpendapat, masyarakat berpenghasilan rendah tetap akan kesulitan menjangkau rumah, kecuali lokasi rumahnya jauh sekali dari pusat kota. Ini didasarkan atas perhitungan terhadap nilai yang dipotong dari gaji, kenaikan gaji, dan kenaikan harga rumah.
Laju kenaikan harga rumah, menurut Eko, jauh melampaui kenaikan gaji pekerja. Peserta Tapera yang menunggu giliran untuk mendapatkan akses KPR Tapera akan terkena kenaikan harga rumah yang semakin tinggi. Di sisi lain, BP Tapera belum tentu mampu menangani semua peserta yang mengambil manfaat secara bersamaan.
”Kenaikan harga rumah jauh melebihi kenaikan gaji. Secara fungsi, Tapera akan sulit menjamin bisa dapat rumah, kecuali lokasi rumah jauh sekali atau ada subsidi besar dari pemerintah,” ujar Eko.
Dengan asumsi nilai rumah Rp 300 juta, Eko melanjutkan, skema pembiayaan KPR Tapera itu hanya bisa dijangkau masyarakat berpenghasilan Rp 8 juta. Sementara kelompok masyarakat berpenghasilan di bawah Rp 8 juta per bulan dengan kemampuan cicilan KPR yang lebih rendah bakal kesulitan membayar uang muka rumah, di samping beban pengeluaran semakin besar karena wajib membayar iuran Tapera.
Adapun untuk investasi, bagi karyawan hasilnya akan lebih menguntungkan karena dari total 3 persen iuran Tapera yang dipotong, ada kontribusi dari pemberi kerja sebesar 0,5 persen. ”Jadi, bisa dikatakan, karyawan sudah mendapatkan keuntungan hampir 15 persen di awal. Belum ditambah imbal hasil investasi yang dilakukan BP Tapera,” ucapnya.
Apakah Tapera menjadi investasi menguntungkan?
CEO dan pendiri Tatadana Consulting, Tejasari Asad, mengemukakan, estimasi imbal hasil Tapera sebesar 4 persen per tahun yang bisa diambil saat pensiun dinilai lebih baik dibandingkan simpanan tabungan ataupun deposito bank. Namun, jumlah imbal hasil itu lebih rendah jika dibandingkan investasi langsung pada obligasi pemerintah yang saat ini sudah di level imbal hasil 6,5 persen.
Di sisi lain, ia menyoroti, kelompok masyarakat yang sudah mengikuti skema KPR akan semakin terbebani karena masih diwajibkan membayar iuran Tapera, di samping cicilan bulanan KPR. Sementara itu, harga rumah Rp 300 juta dinilai sudah sulit ditemukan di Jabodetabek. ”Rumah itu ada di mana dan seperti apa (kondisinya)?” kata Tejasari.
Co-Founder Daya Uang Lolita Setyawati menyatakan, kebutuhan peserta Tapera belum sepenuhnya menjadi pertimbangan generasi milenial akhir dan generasi Z. Pergeseran gaya hidup dan prioritas membuat kepemilikan rumah untuk ditinggali bukan menjadi tujuan keuangan.
Dengan kemampuan keuangan yang terbatas, lokasi tempat tinggal yang dapat dijangkau ternyata terlalu jauh atau tidak sesuai dengan kebutuhan sehingga akhirnya memilih untuk menyewa.
”Ada dua pertanyaan besar, apakah semua peserta yang memenuhi syarat memang mempunyai kebutuhan memiliki rumah? Dengan perhitungan manfaat Tapera yang nantinya dapat dinikmati peserta, apakah dana tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan harga rumah saat ini?
Di sisi lain, Lolita menilai, pengelolaan dana Tapera masih belum terbukti optimal. Berdasarkan Laporan Keuangan Dana Tapera dan Laporan Pengelolaan Program Tapera Tahun 2022, imbal hasil dari investasi dana Tapera berkisar 2,13 persen sampai dengan 3,92 persen.
Nilai ini masih jauh di bawah tingkat imbal hasil instrumen investasi lain yang relatif stabil dan aman seperti surat berharga negara yang memberikan imbal hasil 6-6,4 persen serta instrumen investasi lain yang lebih agresif seperti saham.
Sementara itu, tingkat kepercayaan masyarakat atas pengelolaan dana oleh badan usaha yang dimiliki negara relatif rendah akibat banyaknya kasus pengelolaan dana masyarakat yang tidak sesuai ketentuan dan berakhir merugikan. Selama kinerja BP Tapera belum terbukti baik, masyarakat akan cenderung menolak skema tersebut.
”Skema iuran Tapera perlu dievaluasi ulang, terutama dari segi pengelolaan, pemanfaatan, dan ketepatan sasarannya. Kemudian, perlu dilakukan sosialisasi terlebih dahulu kepada masyarakat serta diberikan opsi bagi kelas ekonomi tertentu, jadi tidak menjadi kewajiban secara mutlak untuk menjadi peserta,” kata Lolita.
Sumber: Kompas