Kisah Tim Jenggala: Dari Garuda ke Jenggala
Loyalitas. Satu kata sejuta makna. Oxford Dictionary memaknai kata mulia itu sebagai mutu atau kualitas dan sikap setia (loyal).
Loyal sendiri didefinisikan sebagai tindakan memberi atau menunjukkan dukungan dan kepatuhan yang teguh dan konstan kepada seseorang atau institusi. Ini adalah sejumput kisah ihwal “loyalitas” bagi orang per orang, bagi perusahaan, kata loyal atau loyalitas, barangkali sederhana. Sebuah sikap profesional yang ditunjukkan dalam hubungan person atau kolegial sebagai bentuk apresiasi terhadap hubungan bisnis timbal-balik. Tetapi tidak untuk dunia politik. Loyalitas menjadi barang langka dan sangat berharga. Karena itu, mengulik sedikit kisah loyalitas politik yang satu ini menjadi menarik dan penting sebagai bagian dari pendidikan karakter bangsa.
Untuk memulainya, kita harus mundur delapan tahun lalu, tepatnya tahun 2009. Lebih tepat lagi menjelang perhelatan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden periode 2009-2014. Pesta demokrasi yang ditandai dengan pemungutan suara pada tanggal 8
Juli 2009, menampilkan tiga pasang Capres-Cawapres. Mereka adalah pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto, dan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto.
Kisah itu menyisakan satu kelompok loyalis Jusuf Kalla yang terhimpun dalam satu tim pemenangan dan menamakan diri sebagai Tim Garuda. Tak ada yang tahu pasti dan entah bagaimana munculnya nama Tim Garuda. Otomatis dan mengalir begitu saja.
Tak ada makna apa apa. Dan apalah arti sebuah nama. Namun di balik Tim Garuda, ada begitu banyak nama 11orang yang bisa disebut, tetapi yang paling sentral adalah dua sosok: Iskandar Mandji dan Ibnu Munzir.
Kebetulan keduanya pernah duduk sebagai anggota DPR RI dari Partai Golkar. Kebetulan pula, keduanya sama-sama asal Sulawesi Selatan. Satu kebetulan lagi: Keduanya punya ikatan ideologi yang sama.
Mengapa Iskandar menjatuhkan loyalitas tanpa batas kepada JK?
“Karena kami tahu betul karakter, kapasitas, dan kapabilitas beliau. Itu saja sudah cukup bagi kami untuk senantiasa berada di garis perjuangannya,” ujar Iskandar Mandji, suatu hari.
Kedekatan itu tampak betul, demi mendengar kabar AR Mandji, ayahanda Iskandar Mandji wafat, segera Jusuf Kalla datang melayat ke rumah duka di Jl KH Ahmad Dahlan No 31 Beji Timur, Depok, Jumat (13/1/2016). Istri JK, Mufidah Kalla juga tampak hadir. Almarhum AR Mandji sendiri, dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. AR. Mandji pernah berkiprah sebagai legislator selama 4 periode: 3 periode sebagai anggota DPRD Sulsel dan 1 periode sebagai anggota DPR RI. Almarhum AR Mandji sahabat sekaligus mentor politik Jusuf Kalla.
Kembali ke peristiwa 2009. Fahmi Idris yang saat itu masih menjabat Menteri Perindustrian dan kawan-kawan dihadapkan pada rasa tanggung jawab, tepatnya tanggung jawab moral dan profesional untuk memenangkan pasangan JK-Wiranto secara all-out. Betapa pun, Golkar sudah membuat keputusan. Keputusan yang harus diamankan, yakni memenangkan pasangan JK–Wiranto. Di samping Tim Pemenangan resmi yang dibentuk dan diketuai oleh Fahmi Idris dan Iskandar Mandji sebagai sekretaris, dibentuk pula Tim Garuda sebagai bagian dari Tim Pemenangan.
Sejak itulah, Iskandar Mandji, Ibnu Munzir, Marsekal Madya (Purn) M. Basri Sidehabi, Mukhtarudin, Egy Massadiah dan lain-lain, membentuk Tim Garuda. Ini tim pemenangan yang bisa disebut setengah resmi. Jika dikatakan resmi, tidak sepenuhnya tepat, karena DPP Golkar sudah memiliki struktur pemenangan sendiri. Dikatakan tidak resmi, faktanya tim ini memiliki akses langsung ke Capres Golkar, Jusuf Kalla, ketika itu.
Tim Garuda pun bekerja keras, berdampingan dengan tim pemenangan yang ada. Pasca pemungutan suara, 8 Juli 2009, kerja keras mereka tidak berhasil.
Tim Garuda gagal mengantar JK ke kursi presiden. Pasangan JK-Wiranto hanya mendulang suara sekitar 15 juta lebih (13%), dan berada di urutan buncit kontestasi Pilpres 2009. Pasangan SBY-Boediono memenangkan Pilpres dengan perolehan suara sekitar 73,8 juta (60%), diikuti urutan kedua pasangan Megawati–Prabowo yang meraup suara sekitar 32,5 juta (27%).
Kecewa? Tentu saja. Tapi harus diingat. Mereka adalah manusia-manusia petarung. Orang-orang dengan tradisi leluhur yang kuat. Filosofi hidup mereka umumnya pantang menyerah. Seperti semboyan khas tanah Sulawesi Selatan, “Pura babbara sampekku, Pura tangkisi’ gulikku, Ulabbireng telleng na towalia”. Telah kukembangkan layarku, telah kuarahkan kemudiku, lebih baik tenggelam daripada saya kembali.
Sejenak, kekalahan itu menenggelamkan mereka dalam pusaran introspeksi. Bulan bergulir dan berganti tahun. Kekerabatan Tim Garuda tidak memudar. Yang berkantor di Senayan (sebagai anggota DPR RI), tetap dengan aktivitas politik yang tidak pernah sepi dari dinamika.
Sebaliknya, yang di luar Senayan, dipadati aktivitas masing-masing: berniaga, bekerja kreatif, dan aktivitas lainnya.
Asal nama Jenggala
Tahun pun bergulir, menggilas bilangan satu, dua, dan tiga. Tiga tahun setelah kekalahan JK–Wiranto di Pilpres 2009, mereka pun kembali melakukan konsolidasi. Tahunnya 2012. Suhu politik sudah suam-suam kuku. Dingin tidak, panas pun belum terlalu.
Entah untuk alasan apa, tetapi mereka merasa harus segera berkonsolidasi menyongsong Pilpres 2014. Itu artinya, sekitar dua tahun lagi. Berarti pula, sekitar 12 bulan lagi, temperatur akan melonjak.
“Kami juga tidak tahu, untuk apa kami melakukan konsolidasi. Tetapi feeling kami sama, bahwa JK akan muncul. Insting politik kami mengatakan begitu,” ujar Iskandar Mandji, yang cukup intens berkomunikasi dengan JK, selepas Pilpres 2009. Namun, pada saat itu, 2012, mereka belum mengerucutkan maksud dan tujuan gerakan. Dari berbagai percakapan informal antara JK dengan Iskandar Mandji dan teman-teman lain, tidak juga tersirat pesan tegas, apakah akan maju dalam Pilpres 2014, atau tidak. Tidak tegas, bisa diartikan, “iya” dan “tidak”.
Syahdan, Tim Garuda pun menjelma menjadi Tim Jenggala. Orang-orang inti, masihlah sama, ada Iskandar Mandji, Ibnu Munzir, Erwin Aksa, Basri Sidehabi, Egy Massadiah, Mukhtarudin, Pieter Wattimena, Yopie dan nama-nama prominen lain. Ihwal nama Jenggala? Jangan salah dengan 15
Jenggala-nya Arifin Panigoro yang “naik daun” pasca Reformasi 1998. Sama sekali berbeda, dan tidak ada hubungan sama sekali.
“Kebetulan, letak markas kami sama-sama di Jalan Jenggala, Jakarta Selatan tidak jauh dari kediaman Pak Arifin Panigoro. Rumah yang kami tempati itu adalah rumah teman, Pak Muhammad Lutfi, mantan Kepala BKPM, Dubes RI Jepang dan Menteri Perdagangan. Dia mengikhlaskan rumahnya untuk beraktivitas bagi kepentingan JK,” ujar Ibnu Munzir, menambahkan.
Sejak itu pula mereka resmi memiliki wadah untuk beraktivitas. Dari Tim Garuda menjadi Tim Jenggala.
Nama yang keren. Mengingatkan kita pada sejarah kuno, tentang Kerajaan Jenggala. Sebuah kerajaan yang merupakan pecahan kerajaan yang dipimpin Airlangga dari Wangsa Isyana. Kerajaan ini berdiri tahun 1042, dan berakhir sekitar tahun 1130-an. Lokasi pusat kerajaan ini sekarang diperkirakan berada di wilayah Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Jenggala sendiri berarti hutan atau wana.
Begitulah. Tim Jenggala pun ibarat perjuangan Pandawa dalam epos Mahabharata. Bedah alas Wanamarta, yang kemudian menjadi kerajaan Amarta.
Dari Tim Jenggala, seusai pilpres 2014, kemudian lahir ide-ide kreatif yang tanggap terhadap persoalan aktual. Seusai Pilpres Tim Relawan Jenggala pun berubah nama menjadi Jenggala Center. Mereka menyelenggarakan diskusi, seminar, workshop, riset, dan kegiatan lain yang produktif. Bahkan, ketika menjelang Munas Golkar, Tim Jenggala membuat “panggung” bagi para kandidat Ketum DPP Golkar untuk adu program.
Masih banyak program lain yang digelar Jenggala. Mereka berbuat dan melangkah. Untuk apa? Sampai titik ini, jawabnya masih “entah”.
Satu yang pasti, tim ini dibentuk beda-beda tipis dengan legenda “Bandung Bondowoso”, membangun seribu candi dalam semalam. Betapa tidak, ketika itu, kepastian Jusuf Kalla ditetapkan sebagai Calon Wakil Presiden mendampingi Joko Widodo, menyisakan hanya sedikit sekali waktu untuk mempersiapkan segala-sesuatunya. Karena itulah, tim Relawan Jenggala dibentuk dengan prinsip cepat tapi tepat.
Karena sifatnya relawan, maka tim ini dengan sendirinya berbeda dengan tim-tim pemenangan yang dibentuk oleh partai pengusung. Beruntung, mantan anggota Tim Garuda masih kompak.
Karenanya, mereka tidak menemui kesulitan berarti ketika meleburkan tekad bersatu dalam Tim Relawan Jenggala.
Dedikasi Keluarga
Bagaimana soal dana? Sekali lagi, sekalipun tim ini melekat dan mendedikasikan kerja kerasnya untuk Cawapres Jusuf Kalla, bukan berarti mereka berlimpah dana operasional. Tantangannya adalah, bagaimana dengan dana yang terbatas, tetapi bisa melahirkan output pekerjaan yang optimal.
Beruntung, Jusuf Kalla memiliki keluarga, saudara maupun anak-anak (termasuk menantu) yang secara ekonomi sudah mapan, dan tidak satu pun yang tidak terlibat dalam tim Jenggala. Dengan kapasitas masing-masing, mereka mendedikasikan waktu, tenaga, pikiran, bahkan dana untuk menunjang kerja Tim Jenggala.
Menantu Jusuf Kalla, Susanto “Tono” Supardjo misalnya. Ia menggalang komunitasnya sekaligus meleburkannya ke Tim Jenggala. Suami dari Muchlisa “Lisa” Kalla ini sebenarnya berdomisili di London, Inggris. Akan tetapi, demi mengetahui ayah mertua maju sebagai cawapres mendampingi Jokowi, maka Tono pulang ke Tanah Air.
Tidak saja menggalang dukungan dari link, relasi, serta jaringan yang ia miliki, tetapi juga terjun ke berbagai daerah menggarap langsung basis-basis massa. Kebetulan pula, Tono sempat memiliki proyek di wilayah Kalimantan Timur, sehingga ada beberapa kesempatan ia secara khusus juga menggarap wilayah Kalimantan, khususnya Kalimantan Timur.
Putra kedua Jusuf Kalla, Solihin Kalla bahkan sejak awal pembentukan Tim Relawan Jenggala, sudah aktif terlibat. Dalam banyak kesempatan, bukan saja gelontoran dana yang ia sumbangkan untuk tim relawan, tetapi juga pengadaan logistik. Tidak jarang, Solihin bahkan terjun langsung ke tengah masyarakat untuk mengkampanyekan ayahnya.
Di luar aktivitasnya mem-back-up Tim Relawan Jenggala, Solihin juga memiliki posko sendiri di Jalan Brawijaya yang ia kelola bersama rekan-rekannya. Sekalipun begitu, Solihin tak pernah putus kontak dengan kantor pusat Tim Jenggala. Bersama Solihin Kalla, ada satu orang kepercayaannya yang selalu mendampinginya. Dia adalah Dedy Patiwiri.
Dedy bertanggung jawab antara lain mendistribusikan dana untuk operasional sehari-hari di Jenggala. Dia juga bukan orang baru, karena memang kenyataannya, dia sudah berkiprah sejak Tim Garuda, pada Pilpres 2009.
Demikian pula Langlang Wilangkoro, menantu JK yang lain. Suami dari Muswira “Ira” Kalla yang akrab disapa Ongko ini, bahkan blusukan masuk wilayah Yogyakarta, karena ia memang berasal dari Kota Gudeg. Memanfaatkan kedekatan emosional dengan daerah asal, Ongko juga membentuk komunitas-komunitas relawan Jenggala. Tidak sedikit pula, waktu, tenaga, pikiran, dan dana ia keluarkan untuk menunjang program-program Jenggala.
Menantu JK lainnya, Adi Sumadi tak kalah bersemangatnya. Suami dari Edha Kalla yang berdomisili di Makassar, turun ke wilayah Sulawesi, khususnya Sulawesi Selatan mengibarkan panji-panji Tim Jenggala. Didukung Kalla Group, di mana ia duduk sebagai salah satu direksi, Adi Sumadi tak kenal lelah mengampanyekan Jokowi-JK. Tak jarang, ia harus bergesekan dengan tim pemenangan lain, terlebih ketika gubernurnya terang-terangan berada di kubu sebelah.
Masih ada lagi, menantu Jusuf Kalla yang juga berperan aktif di Tim Jenggala. Dia adalah Marah Laut C. Noer, putra sineas almarhum Arifin C. Noer, suami dari Ade Chairani Kalla. Bersama istri tercinta, Marah Laut menggalang anak-anak muda Jakarta masuk dalam gerbong Tim Jenggala. Ia dengan kreatif menghimpun elemen muda, membentuk “Sahabat Muda JK”.
Di luar nama-nama itu, ada juga Eky Kalla, keponakan Jusuf Kalla. Ia bahkan ikut menjaga posko dan mengatur lalu-lintas pendistribusian logistik kampanye. Tugas lain Eky Kalla termasuk menyiapkan sarana transportasi untuk keperluan Tim Relawan Jenggala, baik transportasi darat, laut, maupun kilat lewat udara.
Sama seperti anggota Tim Relawan Jenggala lain, umumnya mereka juga terlibat di tim pemenangan JK-Wiranto pada Pilpres 2009. Itu artinya, semua memiliki pengalaman. Berbekal pengalaman itu pula, para saudara, menantu, dan anak-anak Jusuf Kalla bekerja lebih matang, dengan hasil kerja yang riil bersama relawan Tim Jenggala lain, yang tidak kalah militan. (*)
Simak cerita selengkapnya di Buku Jenggala Kita (2018)